Sulitnya Melepas Ketergantungan Beras
Sering dengar orang bilang "kalo belum makan nasi sama dengan belum makan"? atau mungkin anda sendiri punya anggapan yang sama? Hal ini sudah menjadi kebiasaan di masyarat yang berdampak pada tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai bahan baku pembuatan nasi (makanan pokok). Mengingat 95 persen dari penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagaipangan utamanya dengan rata-rata konsumsi beras yang cukup tinggi hingga mencapai 97,4 kg/jiwa/tahun (BPS,2013). Masih ingginya angka konsumsi beras nasional tersebut dikarenakan beras masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya pangan Indonesia. Berdasarkan data dari kementerian Pertanian, pergeseran pola makanan masyarakat Indonesia yang menjurus hanya pada beras saja mulai terjadi pada tahun 1984 yang sudah mencapai lebih dari 80 persen. Hal ini semakin memprihatinkan ketika pada tahun 2010, sumber pangan yang lain bisa dikatakan mulai menghilang. Padahal pada tahun 1954, pola makan masyarakat Indonesia masih bisa dikatakan bervariasi. kala itu beras memang sudah menguasai separuh sumber bahan makanan pokok. Namun, sumber makanan pokok lokal seperti ubi kayu, sagu dan jagung masih bisa bersaing. Mengingat Indonesia sebenarnya memiliki beragam sumper pangan lokal maka diharapkan kedepannya terjadi percepatan diversivikasi pangan sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada bahan pangan berupa beras.
Indonesia banget |
ketersediaan beras terganggu akan memicu pergolakan harga beras di pasaran. Sebagaimana hukum ekonomi "jika permintaan naik maka harga naik' berlaku pula pada komoditas beras ini. Belum lagi kondisi ini diperparah dengan permainan tengkulak nakal yang sering menimbun beras untuk mengeruk keuntungan berlipat. Selain faktor tersebut, berikut ni mungkin alasan yang tepat dari melambungnya harga beras untuk kondisi saat ini.
baca dari http://bisniskeuangan.kompas.com.
Mundurnya Masa Tanam Padi Picu Kenaikan Harga Beras
JAKARTA, KOMPAS.com – Mundurnya masa tanam belum terbukti meningkatkan produksi padi. Alih-alih produksi bertambah, kesempatan ini justru menjadi celah bagi sejumlah pedagang untuk menahan stok sehingga harga beras melambung.Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, mengatakan, usaha tanam padi sangat bergantung pada iklim dan cuaca. Ketika terjadi anomali, hal tersebut akan berpengaruh terhadap masa panen.
Menurut Khudori, pada kondisi normal, petani akan panen raya pada Februari-Maret. Hasilnya sebesar 65 persen dari produksi nasional. Pada Juni-September, masih ada panen dengan jumlh kecil. Paceklik terjadi pada Oktober-Januari.
"Tapi karena terjadi anomali, di mana hujan terlambat 1-1,5 bulan, akhirnya masa tanam dan panen mundur. Artinya, masa paceklik makin panjang 1-,15 bulan," kata Khudori dalam suatu diskusi di Jakarta, Sabtu (28/2/2015).
Khudori menilai pemerintah tidak mengantisipasi mundurnya masa tanam ini. Situasi makin sulit manakala pemerintah mengambil kebijakan menghentikan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin) pada November-Desember.
Akibat kondisi tersebut, masyarakat yang sebelumnya menikmati raskin beralih memburu beras ke pasar. Jumlahnya tidak sedikit, yakni 700.000 ton atau sekitar hampir 30 persen dari kebutuhan beras nasional tiap bulan. Sebanyak 15,5 juta rumah tangga sasaran penerima manfaat raskin yang tadinya tidak perlu mencari beras ke pasar, terpaksa membeli beras dari pasar.
Khudori yakin bahwa kondisi itu memicu eskalasi harga beras. Melihat ini semua, dia tidak menyalahkan jika pedagang mengambil kesempatan mengambil untung di saat masyarakat membutuhkan beras.
"Pedagang pasti tahu pemerintah punya stok berapa, yang ada di Bulog berapa. Ketika tergerus untuk operasi pasar (akibat ketiadaan raskin), (stok Bulog) itu kan semakin menipis. Kalau pedagang punya stok dan karena cadangan beras pemerintah itu sangat tipis, maka pasar itu sangat panas. Jadi pedagang menahan itu wajar karena memanfaatkan situasi. Memanfaatkan celah yang dibuka oleh pemerintah," kata dia.
Yang tidak dibenarkan, kata Khudori, pedagang besar yang menguasai pangsa pasar bersekongkol dan mengatur wilayah pemasaran dan mengatur harga. "Itu yang namanya kartel. Apakah sekarang terjadi kartel, pemerintah lah yang harus membuktikan itu," kata dia.
Khudori menyebutkan, pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang menyebut mundurnya masa tanam dapat meningkatkan produksi gabah, belum dapat dibuktikan secara empiris.
Sementara itu, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha Syarkawi Rauf menilai pembatalan penyaluran raskin belum tentu menyebabkan lonjakan permintaan beras di pasar. Namun, dia sepakat bahwa masa tanam yang mundur memunculkan celah kekosongan stok untuk sementara waktu.
***
'Tandur' Tak Harus Tanam Mundur
Jika kita telaah lebih dalam lagi, ternyata bukan hanya gara-gara waktu tanamnya saja yang mundur, tapi bisa jadi karena salah satu alasannya adalah 'sistem' tanam kita masih 'mundur'. Nih buktinya:'Tandur' akronim dari tanam mundur |
mesin tanam bibit padi (Rice Transplanter) |