Friday, 13 March 2015

Kawah Ijen Undercover

Berwisata ke gunung ijen sebenarnya bagi saya bukanlah sekedar wisata alam untuk menikmati panorama Mahakarya Tuhan yang amat luar biasa indahnya. Banyak hikmah yang mesti kita petik dari perjalanan di kawasan cagar alam taman wisata kawah ijen tersebut, dan saya telah membuktikannya bersama kawan-kawan saya dari malang (9 Maret 2015).
Cerita ini bermula ketika kami ber-empat (foto dari kanan berurutan: Zaki, Wildan, saya(umam) dan Rizqi) berencana untuk traveling ke Banyuwangi dan menginap di salah satu rumah teman (Yudha, foto paling kiri). Dan salah satu destinasi yang kami (termasuk yang fotoin - adiknya yudha) akan kunjungi adalah 'Kawah Ijen'.
Untuk melihat keindahan gunung yang memiliki ketinggian 2.799 mdpl dan kawahnya yang berada di ketinggian 2.369 mdpl tersebut tidaklah mudah, kami harus melakukan pendakian terlebih dahulu sepanjang kurang lebih 3 km dari pos pendakian di paltuding. Pendakian rencananya kami lakukan di malam hari dengan tujuan untuk melihat fenomena blue fire yang begitu terkenal dari kawah ijen. Sayangnya, akibat tubuh kelelahan sehabis dari pantai teluk hijau (green bay) yang pulang kemalaman, maka perjalanan ke gunung ijen kami lakukan pagi hari. Berangkat dari srono, tempat kami menginap sekitar pukul 3 pagi dengan harapan minimal masih bisa melihat sunrise. Sampai di pos pendakian pukul setengah 5, setelah menitipkan motor dan registrasi perjalanan langsung dilanjutkan trekking jalan kaki. Tidak banyak bekal yang kami bawa, karena memang ini bukan tipe pendakian yang membutuhkan banyak waktu sampai menginap berhari-hari. Setidaknya ada air minum, dan yang terpenting adalah perlengkapan diri seperti jaket dan masker untuk melindungi diri dari hawa dingin dan juga asap belerang.

Kebetulan hari itu cuaca cerah dan tidak hujan, padahal 2 hari sebelumnya di kawasan gunung ijen tersebut turun hujan (info dari seorang penambang belerang). Kami sangat beruntung karena kondisi jalan yang kami lalui tidak licin, ditambah lagi bulan masih purnama (tgl 17 penanggalan hijriah) jadi jalur pendakian cukup terang, meski begitu saya sudah mempersiapkan bekal lampu senter. Sesekali kami juga berjumpa bapak-bapak penambang belerang yang mulai berangkat bekerja yang kemudian bergegas menyalip dengan langkahnya yang sigap dan cepat karena mungkin sudah terbiasa seperti itu. Bagi kami, melintasi jalan yang menanjak tentu membutuhkan waktu yang agak lama dan melelahkan, jadi sebelum keburu matahari terbit kami sempatkan untuk subuhan berjamaah dengan mengambil tempat yang agak lapang di sisi jalan. Selesai sholat, perjalanan langsung kami lanjutkan kembali karena lokasi kemungkinan masih jauh belum ada setengah perjalanan.
Perlahan sinar mentari membuka tabir pagi, impian untuk melihat sunrise dari atas kawah pun gagal apalagi fenomena blue fire. Tak apalah, tak perlu terburu-buru, bukankah esensi dari wisata alam itu menikmati suasana dan kegiatannya. Keluarin termos, gopi-ngopi dulu sambil menyaksikan sunrise dari lereng gunung ijen. Toh kita juga bukan sedang ikut kompetisi trail run. Jadi nikmati saja prosesnya. Sampai di pos timbang belerang, matahari sudah benar-benar menampakkan diri. Sejenak menarik nafas panjang sambil meluruskan kaki sebelum perjalanan dilanjutkan kembali. Aroma khas belerang sudah mulai tercium terbawa semilir angin yang seakan mengisyaratkan bahwa  perjalanan kami menuju kawah tidak jauh lagi. Benar saja, dari sini perjalanan menuju kawah ijen tinggal 1km (sambil mengeja papan penunjuk arah yang terpampang di batang pohon).
Perjalananpun kami lanjutkan santai sambil foto-foto menikmati landscape pegunungan yang sudah mulai nampak jelas dari bidikan lensa kamera. Seringkali kami berpapasan dengan para penambang belerang yang telah kembali sambil memikul bongkahan belerang di sisi pundaknya. Tidak hanya penambang belerang, para wisatawan pun yang datang lebih pegi telah banyak yang berduyun-duyun turun, tidak hanya wisatawan domestik, tetapi juga wisatawan mancanegara atau turis asing yang sepertinya telah menyelesaikan misinya menaklukan gunung ijen dan melihat fenomena langka bernama blue fire di kawah ijen.
Sesampainya di lereng kawah sekitar pukul 6.30 anginnya lumayan kencang, kebetulan asap pekat belerang dan bau yang menyengat turut menyambut kedatangan kami. Pemandangan kawah masih samar-samar terlihat dan kamipun harus sabar. Sambil menunggu asap belerang menghilang, kami terus berjalan menyusuri punggung kawah menuju sisi lain. Angin perlahan menyibak kepulan asap belerang dan kemudian kawah ijen tergambar jelas dihadapan mata. Subhanallah, benar-benar seperti lukisan yang sempurna, yang diciptakan dengan penuh cinta dari sang pemilik Alam supaya manusia sadar untuk selalu bersyukur dan menjaganya.
Moment yang baru pertama kali bagi saya dan juga sebagian besar lainnya ini tentu sayang untuk dilewatkan. Mumpung cerah juga.. Buruan siapin kamera, ambil posisi pilih angle kamera yang bagus lalu pose sesuka hati dan 1.. 2.. 3..jepret!.
Sekali lagi, minta tolong fotoin yang sendiri dong..  Bentar, action dulu.. (jepret.!)
Dirasa cukup foto-fotonya, giliran perut ngasih isyarat buat sarapan. Nyari tempat yang teduh dulu buat buka bekal yang udah disiapin sama ibuknya yudha dari rumah. Bagi saya, makan di gunung itu lebih nikmat jika dibandingkan dengan makan di warung, apapun menunya. Terlebih lagi kalo masak dulu sendiri di gunung, lebih punya taste gitu deh pokoknya.. Berhubung niat kita di sini cuma sebentar, jadi nyari yang praktis aja, sama-sama nikmat kalo udah laper. Yang terpenting lagi, bungkus sisa makan jangan ditinggal, tapi bawa pulang (turun) sebagi wujud kepedulian kita supaya gunung tetap bersih dan terjaga kelestariannya. Ingat, don't leave anything but footprint.
Selesai makan, teman-teman langsung mengajak pulang. Sambil berjalan pelan-pelan dengan camera yang masih mengalung di leher sesekali menyempatkan mengambil beberapa foto dari sudut yang tadi terlewatkan sebagai kenang-kenangan. Kan katanya ketika kita di gunung itu kita harus mengikuti aturan "don't take anything but picture". Yaudah kita puas-puasin lagi aja selagi masih di sini (kawah ijen). Belum tentu juga kan dikasih kesempatan untuk berkunjung kembali.
Ingin rasanya mengabadikan aktivitas para penambang belerang dari jarak dekat (turun ke dasar kawah), tapi sepertinya sedang tidak aman. Bukan saja masalah jalannya yang lumayan terjal, namun melihat asap belerang yang sesekali bergejolak karena tiupan anginya yang kencang dan tak tentu seolah melarang kami untuk turun ke dasar kawah. Lihat saja kabut asap belerang seperti yang terlihat dalam foto di bawah ini yang bisa kapan saja datang dan dapat menyebabkan kami batuk terpingkal-pingkal saat menghirupnya meski sudah memakai masker.
Setelah 3 teman diantara kami telah mendahului turun (kembali), saya dan dua teman lainnya menyusul. Tak terasa perjalanan kami cukup lama, sampai di bawah (parkiran) sekitar pukul 11.00wib. Setelah personel lengkap, kamipun berkemas dan bergegas pulang (menginap lagi ke rumah yudha). Meski lelah, perjalanan kali ini sangat berkesan dan menyenangkan. Andaikan suatu satu saat diberi kesempatan, saya masih tidak kapok untuk menyapa kembali kawah ijen dan para penambang belerang sekali lagi dengan siapapun itu, tapi entah kapan..

Kisah Para Penambang Belerang

"Seberat-beratnya beban hidup, masih tak seberapa bila dibandingkan memikul belerang" begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa hebat dan luar biasa para penambang yang menggantungkan hidup dari lelehan belerang di tebing dasar kawah gunung ijen tersebut. Keberadaan mereka tentu menarik perhatian para wisatawan termasuk saya dan teman-teman untuk mengabadikan momen tersebut serta mengulik informasi dari mereka. Beberapa informasi kami dapatkan ketika mengobrol dengan beberapa penambang yang kami jumpai di perjalan maupun saat mereka beristirahat. Informasi-informasi tersebut diantaranya adalah bahwa jumlah mereka penambang tradisional di kawah ijen 300 orang yang berasal dari desa-desa disekitar gunung ijen dan tergabung dalam sebuah paguyuban. Sebelum melakukan penambangan, mereka harus melapor di pos timbang menyerahkan kartu anggota. Para penambang tradisional tersebut biasanya melakukan penambangan 2 kali dalam sehari, kebanyakan pagi dan siang hari. Berat bongkahan belerang yang mereka bawa dalam sekali angkut rata-rata 75 kg bahkan ada yang kuat sampai 150 kg. Peralatan yang mereka gunakan untuk menambang sangatlah sederhana bukanlah alat berat hanya dengan mengandalkan linggis untuk mencongkel lelehan-lelehan belerang panas yang mulai mengeras. Begitu pula dengan alat anggutnya yang hanya keranjang bambu atau juga karung. Cara mengangkut belerang tersebut adalah dengan memikulnya sambil berjalan kaki menaiki tebing setinggi 200 meter menuju bibir kawah kemudian dilanjutkan menuruni gunung ijen kurang lebih 3km. Hasil jerih payah mereka dihargai 925 rupiah per kilogram belerang yang berhasil dikumpulkan. Kira-kira perhari mereka membawa pulang uang sekitar 150ribu rupiah. Mungkin penghasilan mereka lebih besar dibanding upah buruh yang cuma setara UMR. Tetapi melihat perjuangannya adan pengorbanan yang mereka pertaruhkan dengan hanya mengandalkan kekuatan fisik tersebut, saya rasa bayaran segitu kurang sebanding. seharusnya harga perkilo bisa dihargai lebih besar lagi, mengingat belerang juga merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan. Tantangan yang harus dihadapi para penambang sehari-hari adalah asap belerang, dan herannya kebanyakan dari mereka tanpa memakai masker dan bahkan ada yang sambil merekok. Saya sampai tak habis pikir dengan kesehatan mereka. Herannya, kata salah seorang penambang yang saya ajak ngobrol, mereka tidak merasakan sakit pada paru-parunya. Biasanya yang mereka rasakan sakit ada pada tulang khususnya bagian persendian seperti lutut. Sedangkan pundak sampai kapalan itu sudah wajar. Padahal jika mereka sakit, mereka tidak dapat melakukan aktifitasnya sebagai penambang, dan otomatis penghasilan mereka tidak ada. namun begitu, mereka tetap terlihat sehat meski nampak ekspresi lelah diwajah mereka.. Rahasianya mereka setiap hari setelah menambang selalu mengkonsumsi susu untuk menjaga stamina.
Saya penasaran seberapa berat sih beban yang harus mereka bawa setiap hari itu. Nah, mumpung berada di kawah ijen, saya menyempatkan diri untuk membuktikannya. Kebetulan ada penambang yang saya temui sedang istirahat orangnya baik hati dan mempersilahkan saya untuk mencobanya sambil bertanya-tanya.. lihat video di bawah ini.
Belerang yang terlihat ringan saat mereka bawa ternyata amat sangat terlalu berat sekali bagi saya. Sekedar mengangkatpun tak kuasa, apalagi kalau harus membawanya berjalan kaki berkilo-kilo meter. Dan, kesimpulan saya, saya pun menyerah mengakui kehebatan para penambang belerang.
Merasakan hal tadi, 'di situ saya merasa bersyukur' dan sadar bahwa pengorbanan seseorang khususnya orang tua untuk mencari rezeki itu tidak mudah sehingga patut dihormati serta diapresiasi setinggi-tingginya.
Jika anda merasa beban hidup anda saat ini yang paling berat, sekali-kali berkunjunglah ke kawah ijen dan cobalah mengangkat bongkahan belerang yang tersusun dalam keranjang, maka anda tidak hanya akan melupakannya sejenak. tetapi anda akan lebih bersyukur. "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
Share on :
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...